Kamis, 30 April 2015

Be Brave To Take A risk



Mungkin ini adalah keputusan terbaik yang harus gue ambil.

Gue memutuskan diri mengundurkan diri menjadi seorang TDR di tempat gue bekerja, dan kembali menjadi seorang Cashline. Udah cukup gue di sindir-sindir selama seminggu sama staff TDR. Saking gue udah emosi banget sama mereka, gue langsung ngomong ke Senior Cashier dan Head Cashier gue. Gue menjelaskan alasan kenapa gue mengundurkan diri. Gue jelasin juga apa yang gue dan anak-anak lain yang pernah menjadi TDR rasakan. Di hina, harus inisiatif sendiri untuk bisa memahami semua materi TDR yang banyaknya nauzubillah. Bahkan sampai head Security pun sampai tau tentang masalah ini.

Gue udah bener-bener emosi banget saat itu. Gue seharian enggak berhenti ngomong karena membahas staff TDR yang enggak pernah welcome sama anak baru. Terlebih lagi gue yang belum ada sebulan bekerja, udah di angkat menjadi seorang TDR. Mereka beranggapan, kalau gue itu enggak punya prestasi apa-apa dan segala hal yang gue lakukan itu salah.

Gue udah mengundurkan diri dari TDR, dan satu hal yang harus gue hadapi adalah; menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari rekan kerja gue. Semua pada heran pas melihat gue udah membuka kasa dan menjadi seorang Cashline lagi. Gue sampai bingung mau jelasin ke merekanya kayak gimana. Banyak yang nanya kayak gini,

"Lia, kok lo buka Kasir lagi, sih? Bukannya lo jadi TDR?!"

"Eh, kemana aja lo baru keliatan. Bukannya lo sekarang jadi TDR? Kok malah di kasir lagi, sih, sekarang?"

"Eh lo kenapa enggak di TDR lagi? Pasti gara-gara orangnya, ya, Li?"

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bikin gue pusing. Belum lagi para Senior yang juga ikutan kaget pas tau gue enggak jadi TDR lagi. Belum lagi ada beberapa anak yang menyindir gue. Istilahnya, gue seperti turun jabatan, dari seorang TDR menjadi Cashline. Tapi bagaimana pun orang menilai gue saat ini, mereka enggak tau gimana gue berusaha untuk bertahan di TDR. Gimana gue dengan beraninya membela diri gue di hadapan para Staff TDR yang hampir di benci sama semua rekan-rekan kerja gue, karena kesombongan dan keangkuhan mereka yang bisa bikin kita geleng-geleng kepala. Gue bukannya merasa hebat ataupun gimana, tapi gue coba menguutarakan apa yang gue rasa. Kalaupun gue salah, ya gue bakal diem. Itu sebabnya kenapa gue berani ngomong segala hal yang gue rasakan di TDR sama Head Cashier gue, karena biar beliau tau, kenapa banyak orang yang di angkat menjadi TDR, pada akhirnya mengundurukan diri, sama seperti yang gue lakukan sekarang. Dan untungnya aja, Head Cashier gue bisa mengerti dan mencoba mencari jalan terbaik, yaitu dengan cara memindahkan gue menjadi seorang Cashline lagi. Head Cashier gue enggak mau membuat gue merasa tertekan dan stress kalau masih di tempatkan di TDR.

Semenjak gue udah menjadi Cashline lagi, keadaan kembali normal seperti biasa. Beberapa Security ada yang sempat nanya-nanya juga ke gue kenapa balik lagi jadi seorang Cashline. Tapi gue cukup membalas pertanyaan mereka dengan senyuman,

" Saya lebih nyaman jadi Cashline :) "

Ada satu orang yang benar-benar tau masalah yang gue alamin sekarang. Gue enggak nyangka, orang yang gue anggap genit, orang yang gue pikir itu suka godain cewek, adalah seorang Elang di tempat gue kerja. Elang di sini bukannya Elang Indosiar, tapi sebutan Elang itu di tunjukan untuk Head Security di tempat gue bekerja. Dia adalah orang yang bakal turun tangan kalau misalkan ada masalah di tempat gue bekerja. Saat gue menceritakan masalah gue, dia benar-benar menguatkan hati gue banget. Dia yang meyakinkan gue kalau Staff TDR itu enggak lebih baik daripada gue. Dia juga yang membuat gue semangat untuk kerja lagi dan enggak berlarut-larut dalam kesedihan.

***

Masalah di tempat kerja yang bikin pikiran gue mumet, membuat gue memutuskan untuk hangout sama teman-teman gue, yaitu Ulan dan Iky. Iya, Ulan dan Iky pacaran, sedangkan gue Single. Hehe.
Iya tapi enggak apa-apa sih, seenggaknya kita bertiga Q-time banget. Mulai dari makan-makan sampai karokean enggak kenal waktu. Enjoyed banget pokoknya!

Dari SMP sampai Kerja, kalau hangout sama dia mulu. Sampai bosen

Harusnya berempat nih. Tapi yang satunya lagi enggak Mood buat hangout.


Abaikan wajah gue. Enggak sebulat itu kok.











Okay, see youuuu!

Kamis, 23 April 2015

I'm Not Smart, But My Passion On Fire

                   

Yang namanya hidup, semakin kita bertambah umur, banyak hal yang akan kita rasakan dan kita ambil hikmahnya. Dan ini yang sekarang sedang gue rasakan dan coba buat resapin.

Bagi kalian yang berumur 19tahun kayak gue, sekarang lagi sibuk dengan jadwal Perkuliahan kalian. Tugas kelompok, Kuis dan berbagai macam kegiatan Kampus terus menerus memenuhi kegiatan kalian sehari-hari.

InsyaAllah, kalau memang ada umur dan rezeki, gue mau Kuliah tahun ini. Awalnya gue mau mengambil jurusan Sastra Inggris. Tapi setelah gue berpikir berkali-kali dan di omongin sama kedua orang tua, akhirnya gue memutuskan untuk mengambil jurusan Psikologi di salah satu Universitas Swasta. Mengingat gue sekarang berstatus sebagai seorang Pekerja, untuk mencoba masuk ke Perguruan Tinggi Negeri kayaknya enggak akan bisa gue Manage dengan baik untuk segi waktunya.

***
Setelah gue magang selama enam bulan di sebuah Supermarket, kini gue pun berpindah ke Supermarket yang statusnya jauh 'lebih besar' daripada tempat gue magang sebelumnya. Alhamdulillah, tiga minggu gue menaruh lamaran, akhirnya, gue bersama kedua teman gue, Idan dan Amra, akhirnya di panggil dan resmi menjadi pegawai di Supermarket tersebut.

Dan tetap, menjadi Cashier.

Menurut peraturan, kalau misalkan gue udah magang selama enam bulan, gue akan berganti status menjadi pegawai Kontrak. Bagi gue, menjadi pegawai Kontrak adalah salah satu pencapaian yang pengin banget gue wujudkan. Di samping itu pula, pergantian status pekerja di tandai dengan perubahan pakaian kerja. Kalau magang memakai baju warna Biru, kalau pegawai kontrak sudah memakai baju warna merah.

Ini saat gue masih magang.

Dan puji syukur kepada Allah, setelah gue melakukan uji coba selama dua minggu, akhirnya, status gue pun berganti menjadi pegawai kontrak.

Gue udah di kontrak.

Setelah gue resmi di Kontrak, beberapa hari kemudian, Senior Head Cashier gue secara langsung meminta gue untuk menjadi seorang TDR (Temporary Deposit Room). Untuk kalian yang belum tau tentang pekerjaan ini, TDR adalah orang-orang yang menghitung semua transaksi di Supermarket. Satu kebanggaan  tersendiri di tawari menjadi seorang TDR. Tapi gue tau, resiko menjadi seorang TDR itu tinggi. TDR berhubungan dengan pendapatan Supermarket setiap harinya. Kecepatan dan Ketepatan bekerja sangat d butuhkan di bidang ini.

Tapi kalau kalian berpikir gue itu kerja nya gesit dan akurat, kalian salah besar.

Perlu kalian ketahui, sebenarnya, gue paling benci dengan hal-hal yang berbau dengan angka. Selain itu pula, gue juga orangnya enggak teliti dan ceroboh. Terkadang gue sendiri bingung, kok gue yang di pilih, ya?

Tapiiii, meskipun gue mempunyai kekurangan di hitung-hitungan, gue cukup berbangga. Karena dari semua staff TDR, gue adalah satu-satunya staff TDR termuda di situ. 

Gue udah tiga hari bekerja sebagai seorang TDR. Jujur aja, gue banyakkk banget salahnya. Entah keliru menghitung uang Cash lah, salah input memasukan nominal uang ke Work Paper. Pokoknya, masih banyak banget kesalahan-kesalahan yang gue lakukan selama menjadi seorang TDR.

Gue memag enggak pintar. Dan gue juga bukan tipikal orang yang langsung bisa ngerti kalau di beri pembelajaran. Gue butuh waktu lama untuk memahami. Tapi, meskipun kayak gitu, tekad gue buat belajar tuh kuat. Gue enggak peduli, mau gue di sindir, di omongin dari belakang, di anggap remeh, di anggap enggak pantas menjadi seorang TDR, tapi seenggaknya, di dalam hati kecil gue, ada semangat untuk belajar. Gue pengin bisa, gue pengin buktiin ke semua orang kalau gue mampu. Gue berusaha dengan hasil jerih payah gue sediri. Gue mencoba membangun kehidupan dan kepribadian gue agar jauh lebih baik lagi.

Udah beberapa kali gue di bilang sama staff TDR di sana "gimana, sih?! Masa iya salah terus-terusan. Belajar menghitung lagi sana di rumah!" "Yaelah, kok dia (gue) sih? Enggak ada yang lain apa?" "Gue enggak nyangka kalau dia yang di pilih di TDR. Kok bisa, sih?"

Cemohan yang gue denger dan gue lihat secara langsung. Kalau gue mau melemahkan hati gue, bisa aja gue nangis menggerung-gerung di saat itu juga. Tapi masalahnya, gue enggak bisa nangis. Kenapa? Karena, tekad gue buat menjadi seorang TDR itu jauh lebih besar dan kuat. Gue enggak peduli dengan cemohan mereka, toh gue lagi belajar. Wajar kalau salah.

Gue berdoa sama Allah, kalau memang rezeki gue memang menjadi seorang TDR, tolong beri kemudahan dan kelancaran agar gue bisa jauh lebih baik lagi. Tapi kalau enggak, ya mau bagaimana lagi. Toh, seenggaknya, gue sudah berusaha :)

Oke, mungkin cukup ya cerita gue hari ini. Gue sekarang lagi bener-bener belajar giat buat menjadi seorang TDR.

Doain gue, ya!

Kamis, 09 April 2015

Short Story : Sakura's Cloud

                                                                                                    




Aku mencoba untuk mengatur napasku. Berkali-kali aku mencoba untuk menghirup udara secara perlahan, namun pada kenyataannya, dadaku terasa penuh dan sesak. Rongga dadaku seakan menolak Oksigen untuk masuk. Saat itu, otakku terasa membeku. Kedua tanganku seketika menjadi pucat dan dingin bagaikan es. Air mataku seakan ingin berlinang, namun aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Sesekali aku menggigit bibir dan bergumam dalam hati “Kamu harus kuat!”
Inikah jawaban yang Tuhan berikan padaku?
**

“Pokoknya, kalau ada apa-apa, lo harus cerita sama gue. Oke?”

Dia menangguk mantap dan mengacungkan jempolnya kepadaku. “Oke! Gue pasti bakal cerita sama lo, kok. Tenang aja”

Mendengar ucapannya yang begitu antusias, sukses membuat sebuah lengkungan senyum di wajahku. Sesekali aku menatap sosoknya yang tinggi semampai itu. Bersama dia, rasanya, hal serius di muka bumi ini pun, kalau kita berdua yang sedang membahasnya, seakan itu hanya akan menjadi sebuah hal konyol yang kami berdua akan tertawakan nantinya.

Dia yang selalu mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dia yang selalu tertawa bersamaku, meskipun dalam diam.

Dia bernama Awan. Dia yang kusebut Cinta
**
Ada rasa sesal ketika tau semua ini akan berakhir. Bagaimana mungkin, yang tadinya aku merasa antusias, kini rasa itu berganti menjadi rasa sesal. Berharap waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Atau lebih baik, waktu berhenti saja untuk sementara?

Tapi pada kenyataannya, Semenjak Awan hadir dalam hidupku, waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya.

Aku memutuskan untuk menerima tawaran sahabat Ayah untuk pindah ke Jepang. Kalian pasti berpikir, betapa beruntungnya menjadi diriku. Tapi asal kalian tau, aku bukanlah seorang anak pengusaha kaya yang bisa pergi ke berbagai negara dengan mudahnya. Aku hanya seorang anak guru yang mempunyai kehidupan sederhana. Kecintaan ku terhadap bahasa dan budaya Jepang, menggugah hati sahabat Ayahku. Ia adalah seorang wanita yang kini tinggal di Jepang bersama suaminya. Ia memiliki kehidupan yang sangat berkecukupan, namun sayang, Tuhan tidak menganugerahkan anak kepadanya. Dan ketika ia melihat tekad dan kemauanku untuk mengenyam pendidikan di negeri Sakura tersebut, ia memberikan aku sebuah kesempatan untuk mewujudkan mimpi ku menjadi kenyataan.

Ada rasa senang dalam hatiku. Tapi di sisi lain, ketika aku mengenal Awan, ada rasa tidak ingin pergi. Aku ingin di sini, bersamanya.

“Lo kenapa sih? Murung banget kayaknya”

Aku melirik ke arah Awan yang kini sedang menatapku dengan wajahnya yang kebingungan. Sesekali Awan mengkerutkan dahi nya dan membungkukan badannya yang semampai agar sejajar dengan tinggi badanku yang hanya sedada-nya saja.

“Wan....” Ucapku lirih. “Sebentar lagi kita bakal pisah, lho. Gue enggak bisa ngeledekin lo lagi”

Awan pun seketika tertunduk dengan senyumannya yang getir “Jangan ngomong kayak gitu. Kita masih bisa ketemu, kok. Makanya, lo nanti sering-sering main ke sini, ya”

Aku terdiam saat Awan berkata seperti itu padaku. Entahlah, rasanya, mendengar Awan mengatakan hal tersebut, aku ingin menangis. Seakan aku akan pergi jauh dalam waktu lama dan tak akan kembali kesini. Memang banyak kenangan di Sekolah ini, tapi satu alasan ku ketika kembali kesini adalah untuk bertemu dengan Awan.

Kami berdua pun sama-sama terdiam. Aku tau, Awan tidak suka dengan kondisi seperti ini. Karena ketika kami bersama, kami terbiasa mendengar tawa, bukan diam dan hening seperti ini.

Beberapa saat kemudian, Awan menyobek kertas dari buku tulis yang ia bawa sedari tadi, menuliskan sesuatu dengan pena warna hijaunya. Entah apa yang Awan tuliskan saat itu. Aku hanya bisa melihatnya sembari mencari tau apa yang kini sedang di tulis oleh cowok jangkung itu.

“Nih, buat lo” Awan pun memberikan secarik kertas yang baru saja ia tuliskan. “Kalau lo kangen ledek-ledekan sama gue, lo hubungin nih nomor gue”

Aku pun terdiam saat melihat isi tulisan di kertas tersebut. Tidak pernah terbesit di pikirannku untuk meminta nomor hapenya, ataupun ID messanger yang Awan punya. Aku sadar, aku baru beberapa minggu mengenal Awan, dan aku pikir, meminta kontak pribadinya bukanlah hal yang harus aku lakukan. Tapi pada kenyataannya? Justru ia yang memberikan kontak pribadinya kepadaku.
Aku tersenyum saat menerima secarik kertas yang Awan berikan kepadaku. Aku merasa, meskipun kami berdua akan berpisah, namun setidaknya, secarik kertas ini memberikan ku harapan untuk lebih dekat lagi dengan Awan.

“Yah, kalau ngeledekin lo lewat telepon sih sebenarnya kurang puas. Tapi enggak apa-apa, deh! Yang penting gue bisa ngeledekin lo. Wleeee” Ledekku sambil mencubit pelan lengan Awan.

“Aduh, sakit tau! Awas lo, ya, gue bales!”
**
Aku belum menceritakan hal ini kepada kalian sebelumnya. Kenapa aku begitu menyesali kepergianku ketika bertemu dengan Awan. Aku begitu menyesal, karena aku baru mengenal seorang Awan. Ia adalah salah satu murid baru di Sekolahku. Walaupun sudah hampir tiga bulan ia bersekolah di sini, tapi aku baru mengenalnya saat aku akan pergi ke Jepang beberapa minggu lagi.
Tapi aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Awan. Itupun secara tidak sengaja.
Waktu itu, Awan sedang berlari dengan tergesa-gesa, dan secara tidak sengaja menabrak tubuhku. Aku Cuma bisa mengaduh kesakitan sambil mengelus-elus lenganku yang baru di senggol sama Jerapah.

“Eh, sorry. Gue enggak sengaja. Kecil banget lagian, gak keliatan”

Aku melirik tajam ke arah Awan saat itu. “Gue kecil banget? Elo nya aja yang ketinggian. Masa iya enggak ngeliat gue yang segede gini di depan lo?”

“Gede dari mananya? Kecil begitu”

“Ihhh! Lo tuh enggak kenal gue, tapi udah berani ngeledekin gue. Rese banget sih lo jadi cowok!” 
Seruku sambil mencubit lengan Awan

“Lo kan baru kenal sama gue juga, tapi udah cubit-cubit. Dasar genit. Hih!”

Awan pun dengan cepat pergi meninggalkanku dengan langkahnya yang panjang. Sesekali ia menoleh ke arahku sambil tersenyum jahil. Saat itu aku hanya bisa menggigit bibir karena saking kesalnya dengan Awan.

Tapi siapa sangka? Semenjak saat itu, aku dan Awan sering bertemu. Entah di kantin ataupun perpustakaan. Awalnya, aku sebal dengan Awan kalau mengingat kejadian itu. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa kesal berubah menjadi rasa nyaman. Dan sepertinya, rasa nyaman itu berubah menjadi...

Cinta
                                                                   **
“Gila nih cewek! Stress kali, ya?”

Awan berkali-kali menggerutu kesal saat ia membaca pesan di layar handphone-nya. Aku yang sedari tadi sedang asyik meneguk jus jeruk pun seketika tersedak mendengar ocehan Awan.

“Eh, lo kenapa, sih? Kesal banget kayaknya”

Awan menunjukan pesan yang membuatnya kesal seakan ingin meledak. Beberapa pesan yang telah aku baca, membuat aku tau, kenapa Awan bisa merasa begitu marah seperti ini.

“Dih, kok nekad banget sih dia, Wan?” Ucapku dengan wajah keheranan

“Tau tuh. Udah gue berkali-kali ngelarang dia. Tapi apa? Dia masih nekad aja. Dasar gila”

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Awan yang seperti ini. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengelus pundaknya pelan dan berusaha untuk menenangkannya.

Aku tau, perempuan itu terlalu agresif mendekati Awan. Perempuan itu bernama Denova. Aku mengenalnya, meskipun tidak terlalu dekat. Awan sudah beberapa kali bercerita tentang Denova kepadaku. Jujur, aku rasanya sakit saat Awan menceritakan perempuan lain di depannku. Tapi aku mencoba untuk sabar dan berusaha untuk mendengarkan apapun yang Awan ingin katakan kepadaku.

“Rencananya, anak-anak pada mau main ke rumah gue. Kalau bareng-bareng sih gak apa-apa, gue enggak masalah” Awan mulai menjelaskan tentang kekesalannya dengan Denova. “Tapi ini cewek tuh maksa banget mau ke rumah gue. Sendirian. Lo bayangin, mau ngapain coba dia ke rumah gue sendirian?”

“Dia saking cinta matinya sama lo, Wan. Makanya dia mau main ke rumah lo. Sendirian. Hahaha”

“Idih. Dia aja sana yang mati. Gue mah ogah!”

Aku hanya tertawa melihat ekspresi Awan yang sepertinya begitu membenci Denova. Aku tau, Awan adalah tipe cowok yang susah untuk terbuka untuk orang lain. Aku cukup beruntung, karena bisa sedekat ini dengan Awan. Meskipun aku jatuh cinta kepadanya, namun aku berusaha untuk menutupinya. Setidaknya, aku berusaha untuk peduli dengannya. Aku ingin menjadi orang pertama 
yang mendengar keluh kesahnya.

Aku sesaat memandang ke arah Awan. Melihat dengan seksama setiap lekukan di wajahnya. Hal pertama yang ku kagumi dari Awan adalah kedua matanya. Entah kenapa, rasanya, ketika melihat matanya, banyak hal yang telah Awan lalui waktu dulu. Aku ingin tau, apa yang sering ia pikirkan di saat ia sedang sendirian. Apa yang ia rasakan, apa yang ia sukai ataupun yang ia benci. Aku hanya ingin membuatnya bahagia. Walaupun pada kenyataannya, alasan utamaku untuk terus membuatnya bahagia adalah karena aku menyayanginya.

“Heh! Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu?”
Aku langsung menggeleng-gelengkan kepalaku sambil tersenyum jahil kepadanya.

“Gak apa-apa. Cuma heran aja, kok lo jelek banget, sih?”

Awan pun menjitak kepalaku pelan. “Hati-hati lo ngomong kayak gitu. Tiba-tiba naksir sama gue aja lo, baru tau rasa!”

Aku terdiam saat Awan berkata seperti itu. Lalu sesaat kemudian, aku tersenyum ke arahnya, dan menyenderkan kepalaku ke bahunya yang bidang.

Sebelum lo bilang kayak gitu, gue udah jatuh cinta sama lo, Wan.

**
Aku ingin menghabiskan waktu ku di sini, bersama Awan. Aku selalu berusaha untuk mendengarkan setiap keluh kesah yang dia rasakan. Menjadi orang pertama yang memberikannya semangat ketika ia merasa terpuruk. Menenangkan hatinya ketika emosinya mulai memuncak. Memberikan perhatian ketika ia merasa kesepian. Dan memberikannya sebuah pelukan hangat ketika ia merasa membutuhkan kasing sayang.

Untuk kesekian kalinya, aku melakukan ini untuk orang yang aku sayangi. Dan orang itu adalah Awan.

Aku ingat, ketika kita berdua sedang asyik mengobrol, aku selalu menyindir Awan dengan perempuan-perempuan yang sedang mencoba untuk mendekatinya.

“Kemarin Denova. Sekarang Alya. Besok siapa lagi, nih?”

“Alya? Cewek enggak jelas itu? Idih!” Seru Awan dengan jengkelnya. “Gue kan di sini dekatnya sama lo doang. Enggak ada yang lain”

Aku tertawa mendengar Awan berbicara seperti itu padaku. “Masa iya cuma gue doang, sih?”

Awan Cuma menangguk mantap. “Iya, beneran”

Apa aku salah, ketika Awan berbicara seperti itu, aku merasa seperti perempuan yang paling beruntung di muka bumi ini? Rasanya, aku ingin terbang. Mungkin ini terlihat berlebihan. Tapi ini yang sedang aku rasakan terhadap Awan. Ia selalu menjelek-jelekan perempuan lain dan selalu memujiku. Bagaimana aku tidak di buat tersanjung olehnya? Seakan-akan, aku ini perempuan spesial di mata Awan.

Semenjak dari situ, aku jadi jauh lebih sering menghubungin Awan. Setidaknya, setiap malam, aku berusaha untuk menanyakan kabarnya, atau bercerita sedikit kepada Awan. Meskipun aku harus menyadari, bahwa aku yang selalu menghubungi Awan terlebih dahulu, aku yang lebih sering mencari topik obrolan dan semacamnya. Tapi itu semua tidak terlalu aku pikirkan, karena aku hanya ingin mengobrol dengan Awan. Setidaknya, aku mengetahui kabarnya.

Aku mencoba untuk menepis perasaan sayangku terhadap Awan. Aku hanya takut, kalau hanya aku saja yang menyayangi dirinya. Sedangkan Awan tidak ada rasa apapun terhadapku. Aku khawatir, kalau realita tertutupi oleh perspektifku sendiri. Aku tidak mau jatuh terlalu dalam harapan yang semu seperti ini.

Ya Tuhan, apakah Awan mempunyai rasa yang sama sepertiku?

**
Satu hari lagi, aku akan berangkat ke Jepang. Meninggalkan semua kenangan yang pernah aku alami selama bersekolah di sini. Aku menemukan banyak hal, seperti kawan-kawan yang selalu menemaniku, mendapatkan pelajaran baru, dan bertemu dengan seseorang yang spesial seperti Awan. Ah, rasanya waktu berlalu dengan cepat sekali. Sesekali aku menerawang ke berbagai sudut Sekolah ini. Aku akan rindu dengan latahan ibu Kantin yang sering di jahili oleh para siswa-siswi, mendengar 

kalimat bijak dari penjaga Sekolah dan masih banyak lagi. Tapi, semua kenangan indah yang sedang aku bayangkan sekarang, seketika hancur ketika melihat Awan berjalan tepat ke arahku dengan wajahnya yang sumringah.

Tapi kedatangan Awan kali ini tidak membuatku senang sama sekali. Justru aku ingin menangis sekeras-kerasnya.

“Hey Amaaaa!” Seru Awan kepadaku dengan gayanya yang begitu hiperkatif.

Aku hanya tersenyum kecut sambil menatap seseorang yang kini sedang menggandeng tangan awan. Seseorang yang Awan pernah ceritakan kepadaku. Perempuan itu terlihat begitu manja berada di sisi Awan.

“Eh Ma, inget gak, waktu itu gue pernah cerita ke lo tentang Alya?”

“Inget” jawabku dengan cueknya.

“Gue semalem jadian, Ma, sama si cewek enggak jelas ini. Hahaha!”

Seketika jantungku berhenti berdetak saat Awan berbicara seperti itu denganku. Rasanya aku ingin menangis saja. Seluruh badanku terasa kaku dan sulit untuk di gerakan.

“Eh, apaan sih, kamu! Enak aja aku enggak jelas. Dasar cowok aneh!” Seru Alya sambil mencubit lengan Awan dengan mesranya.

Aku ingat betul, bagaimana reaksi Awan saat menceritakan tentang Alya waktu itu kepadaku. Awan begitu risih ketika Alya berusaha untuk mendekatinya, sama seperti rasa risih ketika di dekati oleh Denova. Aku ingat saat Awan selalu membanggakanku ketimbang Alya. Tapi pada kenyataannya, kenapa Awan sekarang memilih berpacaran dengan cewek yang katanya enggak jelas ini?

Awan pun seketika terdiam dan menatapku dengan ekpresi wajah kebingungan. Perasaanku saat itu 
benar-benar hancur. Rasanya, aku ingin pergi dan tidak bertemu Awan lagi.

“Eh Ama, kok lo diem aja, sih? Enggak kasih selamat atau apa gitu ke gue sama Alya?”

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Mencoba untuk mengangkat kedua wajahku dan memberika senyuman terbaik untuk Awan.

“Se-se-lamaat, ya. Semoga langgeng”

Dari situ, aku langsung berlari meninggalkan Awan dan Alya sembari menangis.
**
Benar dugaanku sebelumnya. Harapan membuatku buta pada kenyataan, bahwa Awan menganggapku sebagai seorang teman dekat, bukan seorang pacar. Aku terlalu berharap dan melihat semua hal yang di lakukan Awan kepadaku sebagai sebuah bentuk Cinta. Padahal, semua itu salah.
Aku menghargai perasaan Awan. Aku tidak bisa memaksakan hatinya untuk menyayangiku, sama seperti aku menyayanginya. Aku sadar, aku salah menafsirkan segala hal tentang Awan. Awalnya aku berpikir, bahwa Awan hanya mempermainkan perasaannku saja. Tapi kalau aku ingat-ingat lagi, rasanya, aku terlalu bodoh untuk berpikir seperti itu. Awan tidak salah, ia menanggapku sebagai satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dan aku sangat menghargai itu.

Terima kasih Awan, engkau telah hadir dalam kehidupanku. Meskipun pada akhirnya, kamu memilih Alya, tapi aku bersyukur, karena kamu telah memilih aku sebagai orang terdekat dalam hidupmu. Aku selalu berdoa untuk kebahagiannmu. Dengan perempuan manapun yang kamu pilih, aku harap, kamu bisa bahagia.
**
“Gue harap, kita bakal terus berhubungan, ya. Jangan sampai lost contact pokoknya!”

Aku tersenyum lebar kepada Awan. Hari ini adalah keberangkatanku ke Jepang. Dan aku beruntung, kali ini, orang tua ku dan Awan lah yang mengantarkanku. Sebuah moment yang begitu mengharukan, ketika aku melihat Awan kini berada di hadapanku.

“Wan, gue boleh minta satu permintaan, gak?”

Awan menangguk mantap. “Boleh banget. Lo mau minta apa emangnya?”

Dengan cepat aku langsung memeluk tubuh Awan. Aku tidak bisa membendung perasaan ini lagi. Aku mencoba untuk tidak menangis, tapi rasa sedih karena tidak bisa bertemu dengan Awan membuat kedua mataku tidak mampu untuk membendung air mata.
Awan pun seketika membungkukan badannya dan membalas pelukanku. Aku mendengar suara isak tangis Awan saat memelukku. Ia mendekatkan bibirnya, lalu berbisik di kupingku.

“Lo adalah orang terdekat yang bisa bikin gue nangis kayak gini. Gue bakal kehilangan lo banget. Enggak ada yang bisa gantiin lo, bahkan Alya, pacar gue sekalipun. Lo adalah sahabat yang akan selalu gue doakan kepada Tuhan, Ma”


Aku terharu mendengar ucapan Awan yang begitu tulus seperti itu. Aku pun juga membisikan 
sesuatu kepada Awan.

“Lo adalah orang yang gue sayang, Wan. Meskipun gue harus terima kenyataan, kalau lo lebih memilih perempuan lain. Tapi gue bersyukur, karena Tuhan telah mempertemukan gue dengan lo. Terima kasih sahabat”

Dengan refleknya, aku mencium lembut pipi Awan.

Awan terdiam saat aku mencium pipinya. Kedua matanya terbuka lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia rasakan tadi.

“Gue pamit, ya.”

Dan dari situ, aku pun berjalan perlahan meninggalkan orang tua ku dan Awan. Aku ingin menoleh ke belakang, namun aku mencoba untuk menatap lurus kedepan. Mencoba untuk meninggalkan segala kenangan dan memulai lembaran baru di Negeri Sakura.

Semoga kamu bahagia dengan cinta yang kamu pilih, dan semoga aku bisa menemukan cinta yang dapat mengubah hidupku jauh lebih baik lagi.


Amin.