Aku mencoba untuk mengatur napasku. Berkali-kali aku
mencoba untuk menghirup udara secara perlahan, namun pada kenyataannya, dadaku
terasa penuh dan sesak. Rongga dadaku seakan menolak Oksigen untuk masuk. Saat
itu, otakku terasa membeku. Kedua tanganku seketika menjadi pucat dan dingin
bagaikan es. Air mataku seakan ingin berlinang, namun aku berusaha sekuat
tenaga untuk menahannya. Sesekali aku menggigit bibir dan bergumam dalam hati “Kamu
harus kuat!”
Inikah jawaban yang Tuhan berikan padaku?
**
“Pokoknya, kalau ada apa-apa, lo harus cerita sama
gue. Oke?”
Dia menangguk mantap dan mengacungkan jempolnya
kepadaku. “Oke! Gue pasti bakal cerita sama lo, kok. Tenang aja”
Mendengar ucapannya yang begitu antusias, sukses
membuat sebuah lengkungan senyum di wajahku. Sesekali aku menatap sosoknya yang
tinggi semampai itu. Bersama dia, rasanya, hal serius di muka bumi ini pun,
kalau kita berdua yang sedang membahasnya, seakan itu hanya akan menjadi sebuah
hal konyol yang kami berdua akan tertawakan nantinya.
Dia yang selalu mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Dia yang selalu tertawa bersamaku, meskipun dalam diam.
Dia bernama Awan. Dia yang kusebut Cinta
**
Ada rasa sesal ketika tau semua ini akan berakhir.
Bagaimana mungkin, yang tadinya aku merasa antusias, kini rasa itu berganti
menjadi rasa sesal. Berharap waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Atau
lebih baik, waktu berhenti saja untuk sementara?
Tapi pada kenyataannya, Semenjak Awan hadir dalam
hidupku, waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya.
Aku memutuskan untuk menerima tawaran sahabat Ayah
untuk pindah ke Jepang. Kalian pasti berpikir, betapa beruntungnya menjadi
diriku. Tapi asal kalian tau, aku bukanlah seorang anak pengusaha kaya yang
bisa pergi ke berbagai negara dengan mudahnya. Aku hanya seorang anak guru yang
mempunyai kehidupan sederhana. Kecintaan ku terhadap bahasa dan budaya Jepang,
menggugah hati sahabat Ayahku. Ia adalah seorang wanita yang kini tinggal di
Jepang bersama suaminya. Ia memiliki kehidupan yang sangat berkecukupan, namun
sayang, Tuhan tidak menganugerahkan anak kepadanya. Dan ketika ia melihat tekad
dan kemauanku untuk mengenyam pendidikan di negeri Sakura tersebut, ia
memberikan aku sebuah kesempatan untuk mewujudkan mimpi ku menjadi kenyataan.
Ada rasa senang dalam hatiku. Tapi di sisi lain,
ketika aku mengenal Awan, ada rasa tidak ingin pergi. Aku ingin di sini,
bersamanya.
“Lo kenapa sih? Murung banget kayaknya”
Aku melirik ke arah Awan yang kini sedang menatapku
dengan wajahnya yang kebingungan. Sesekali Awan mengkerutkan dahi nya dan
membungkukan badannya yang semampai agar sejajar dengan tinggi badanku yang
hanya sedada-nya saja.
“Wan....” Ucapku lirih. “Sebentar lagi kita bakal
pisah, lho. Gue enggak bisa ngeledekin lo lagi”
Awan pun seketika tertunduk dengan senyumannya yang
getir “Jangan ngomong kayak gitu. Kita masih bisa ketemu, kok. Makanya, lo
nanti sering-sering main ke sini, ya”
Aku terdiam saat Awan berkata seperti itu padaku.
Entahlah, rasanya, mendengar Awan mengatakan hal tersebut, aku ingin menangis.
Seakan aku akan pergi jauh dalam waktu lama dan tak akan kembali kesini. Memang
banyak kenangan di Sekolah ini, tapi satu alasan ku ketika kembali kesini
adalah untuk bertemu dengan Awan.
Kami berdua pun sama-sama terdiam. Aku tau, Awan
tidak suka dengan kondisi seperti ini. Karena ketika kami bersama, kami
terbiasa mendengar tawa, bukan diam dan hening seperti ini.
Beberapa saat kemudian, Awan menyobek kertas dari
buku tulis yang ia bawa sedari tadi, menuliskan sesuatu dengan pena warna
hijaunya. Entah apa yang Awan tuliskan saat itu. Aku hanya bisa melihatnya
sembari mencari tau apa yang kini sedang di tulis oleh cowok jangkung itu.
“Nih, buat lo” Awan pun memberikan secarik kertas
yang baru saja ia tuliskan. “Kalau lo kangen ledek-ledekan sama gue, lo hubungin
nih nomor gue”
Aku pun terdiam saat melihat isi tulisan di kertas
tersebut. Tidak pernah terbesit di pikirannku untuk meminta nomor hapenya,
ataupun ID messanger yang Awan punya. Aku sadar, aku baru beberapa minggu
mengenal Awan, dan aku pikir, meminta kontak pribadinya bukanlah hal yang harus
aku lakukan. Tapi pada kenyataannya? Justru ia yang memberikan kontak
pribadinya kepadaku.
Aku tersenyum saat menerima secarik kertas yang Awan
berikan kepadaku. Aku merasa, meskipun kami berdua akan berpisah, namun
setidaknya, secarik kertas ini memberikan ku harapan untuk lebih dekat lagi
dengan Awan.
“Yah, kalau ngeledekin lo lewat telepon sih
sebenarnya kurang puas. Tapi enggak apa-apa, deh! Yang penting gue bisa
ngeledekin lo. Wleeee” Ledekku sambil mencubit pelan lengan Awan.
“Aduh, sakit tau! Awas lo, ya, gue bales!”
**
Aku belum menceritakan hal ini kepada kalian
sebelumnya. Kenapa aku begitu menyesali kepergianku ketika bertemu dengan Awan.
Aku begitu menyesal, karena aku baru mengenal seorang Awan. Ia adalah salah
satu murid baru di Sekolahku. Walaupun sudah hampir tiga bulan ia bersekolah di
sini, tapi aku baru mengenalnya saat aku akan pergi ke Jepang beberapa minggu
lagi.
Tapi aku ingat saat pertama kali bertemu dengan
Awan. Itupun secara tidak sengaja.
Waktu itu, Awan sedang berlari dengan tergesa-gesa,
dan secara tidak sengaja menabrak tubuhku. Aku Cuma bisa mengaduh kesakitan
sambil mengelus-elus lenganku yang baru di senggol sama Jerapah.
“Eh, sorry. Gue enggak sengaja. Kecil banget lagian,
gak keliatan”
Aku melirik tajam ke arah Awan saat itu. “Gue kecil
banget? Elo nya aja yang ketinggian. Masa iya enggak ngeliat gue yang segede
gini di depan lo?”
“Gede dari mananya? Kecil begitu”
“Ihhh! Lo tuh enggak kenal gue, tapi udah berani
ngeledekin gue. Rese banget sih lo jadi cowok!”
Seruku sambil mencubit lengan
Awan
“Lo kan baru kenal sama gue juga, tapi udah
cubit-cubit. Dasar genit. Hih!”
Awan pun dengan cepat pergi meninggalkanku dengan
langkahnya yang panjang. Sesekali ia menoleh ke arahku sambil tersenyum jahil.
Saat itu aku hanya bisa menggigit bibir karena saking kesalnya dengan Awan.
Tapi siapa sangka? Semenjak saat itu, aku dan Awan
sering bertemu. Entah di kantin ataupun perpustakaan. Awalnya, aku sebal dengan
Awan kalau mengingat kejadian itu. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa kesal
berubah menjadi rasa nyaman. Dan sepertinya, rasa nyaman itu berubah menjadi...
Cinta
**
“Gila nih cewek! Stress kali, ya?”
Awan berkali-kali menggerutu kesal saat ia membaca
pesan di layar handphone-nya. Aku yang sedari tadi sedang asyik meneguk jus
jeruk pun seketika tersedak mendengar ocehan Awan.
“Eh, lo kenapa, sih? Kesal banget kayaknya”
Awan menunjukan pesan yang membuatnya kesal seakan
ingin meledak. Beberapa pesan yang telah aku baca, membuat aku tau, kenapa Awan
bisa merasa begitu marah seperti ini.
“Dih, kok nekad banget sih dia, Wan?” Ucapku dengan
wajah keheranan
“Tau tuh. Udah gue berkali-kali ngelarang dia. Tapi
apa? Dia masih nekad aja. Dasar gila”
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah
Awan yang seperti ini. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengelus pundaknya pelan
dan berusaha untuk menenangkannya.
Aku tau, perempuan itu terlalu agresif mendekati
Awan. Perempuan itu bernama Denova. Aku mengenalnya, meskipun tidak terlalu
dekat. Awan sudah beberapa kali bercerita tentang Denova kepadaku. Jujur, aku
rasanya sakit saat Awan menceritakan perempuan lain di depannku. Tapi aku
mencoba untuk sabar dan berusaha untuk mendengarkan apapun yang Awan ingin
katakan kepadaku.
“Rencananya, anak-anak pada mau main ke rumah gue.
Kalau bareng-bareng sih gak apa-apa, gue enggak masalah” Awan mulai menjelaskan
tentang kekesalannya dengan Denova. “Tapi ini cewek tuh maksa banget mau ke
rumah gue. Sendirian. Lo bayangin, mau ngapain coba dia ke rumah gue
sendirian?”
“Dia saking cinta matinya sama lo, Wan. Makanya dia
mau main ke rumah lo. Sendirian. Hahaha”
“Idih. Dia aja sana yang mati. Gue mah ogah!”
Aku hanya tertawa melihat ekspresi Awan yang
sepertinya begitu membenci Denova. Aku tau, Awan adalah tipe cowok yang susah
untuk terbuka untuk orang lain. Aku cukup beruntung, karena bisa sedekat ini
dengan Awan. Meskipun aku jatuh cinta kepadanya, namun aku berusaha untuk
menutupinya. Setidaknya, aku berusaha untuk peduli dengannya. Aku ingin menjadi
orang pertama
yang mendengar keluh kesahnya.
Aku sesaat memandang ke arah Awan. Melihat dengan
seksama setiap lekukan di wajahnya. Hal pertama yang ku kagumi dari Awan adalah
kedua matanya. Entah kenapa, rasanya, ketika melihat matanya, banyak hal yang
telah Awan lalui waktu dulu. Aku ingin tau, apa yang sering ia pikirkan di saat
ia sedang sendirian. Apa yang ia rasakan, apa yang ia sukai ataupun yang ia
benci. Aku hanya ingin membuatnya bahagia. Walaupun pada kenyataannya, alasan
utamaku untuk terus membuatnya bahagia adalah karena aku menyayanginya.
“Heh! Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu?”
Aku langsung menggeleng-gelengkan kepalaku sambil
tersenyum jahil kepadanya.
“Gak apa-apa. Cuma heran aja, kok lo jelek banget,
sih?”
Awan pun menjitak kepalaku pelan. “Hati-hati lo
ngomong kayak gitu. Tiba-tiba naksir sama gue aja lo, baru tau rasa!”
Aku terdiam saat Awan berkata seperti itu. Lalu
sesaat kemudian, aku tersenyum ke arahnya, dan menyenderkan kepalaku ke bahunya
yang bidang.
Sebelum
lo bilang kayak gitu, gue udah jatuh cinta sama lo, Wan.
**
Aku ingin menghabiskan waktu ku di sini, bersama
Awan. Aku selalu berusaha untuk mendengarkan setiap keluh kesah yang dia
rasakan. Menjadi orang pertama yang memberikannya semangat ketika ia merasa
terpuruk. Menenangkan hatinya ketika emosinya mulai memuncak. Memberikan
perhatian ketika ia merasa kesepian. Dan memberikannya sebuah pelukan hangat ketika
ia merasa membutuhkan kasing sayang.
Untuk kesekian kalinya, aku melakukan ini untuk
orang yang aku sayangi. Dan orang itu adalah Awan.
Aku ingat, ketika kita berdua sedang asyik
mengobrol, aku selalu menyindir Awan dengan perempuan-perempuan yang sedang
mencoba untuk mendekatinya.
“Kemarin Denova. Sekarang Alya. Besok siapa lagi,
nih?”
“Alya? Cewek enggak jelas itu? Idih!” Seru Awan
dengan jengkelnya. “Gue kan di sini dekatnya sama lo doang. Enggak ada yang
lain”
Aku tertawa mendengar Awan berbicara seperti itu
padaku. “Masa iya cuma gue doang, sih?”
Awan Cuma menangguk mantap. “Iya, beneran”
Apa aku salah, ketika Awan berbicara seperti itu,
aku merasa seperti perempuan yang paling beruntung di muka bumi ini? Rasanya,
aku ingin terbang. Mungkin ini terlihat berlebihan. Tapi ini yang sedang aku
rasakan terhadap Awan. Ia selalu menjelek-jelekan perempuan lain dan selalu
memujiku. Bagaimana aku tidak di buat tersanjung olehnya? Seakan-akan, aku ini
perempuan spesial di mata Awan.
Semenjak dari situ, aku jadi jauh lebih sering
menghubungin Awan. Setidaknya, setiap malam, aku berusaha untuk menanyakan
kabarnya, atau bercerita sedikit kepada Awan. Meskipun aku harus menyadari,
bahwa aku yang selalu menghubungi Awan terlebih dahulu, aku yang lebih sering
mencari topik obrolan dan semacamnya. Tapi itu semua tidak terlalu aku
pikirkan, karena aku hanya ingin mengobrol dengan Awan. Setidaknya, aku
mengetahui kabarnya.
Aku mencoba untuk menepis perasaan sayangku terhadap
Awan. Aku hanya takut, kalau hanya aku saja yang menyayangi dirinya. Sedangkan
Awan tidak ada rasa apapun terhadapku. Aku khawatir, kalau realita tertutupi
oleh perspektifku sendiri. Aku tidak mau jatuh terlalu dalam harapan yang semu
seperti ini.
Ya
Tuhan, apakah Awan mempunyai rasa yang sama sepertiku?
**
Satu hari lagi, aku akan berangkat ke Jepang.
Meninggalkan semua kenangan yang pernah aku alami selama bersekolah di sini.
Aku menemukan banyak hal, seperti kawan-kawan yang selalu menemaniku,
mendapatkan pelajaran baru, dan bertemu dengan seseorang yang spesial seperti Awan.
Ah, rasanya waktu berlalu dengan cepat sekali. Sesekali aku menerawang ke
berbagai sudut Sekolah ini. Aku akan rindu dengan latahan ibu Kantin yang
sering di jahili oleh para siswa-siswi, mendengar
kalimat bijak dari penjaga
Sekolah dan masih banyak lagi. Tapi, semua kenangan indah yang sedang aku
bayangkan sekarang, seketika hancur ketika melihat Awan berjalan tepat ke
arahku dengan wajahnya yang sumringah.
Tapi kedatangan Awan kali ini tidak membuatku senang
sama sekali. Justru aku ingin menangis sekeras-kerasnya.
“Hey Amaaaa!” Seru Awan kepadaku dengan gayanya yang
begitu hiperkatif.
Aku hanya tersenyum kecut sambil menatap seseorang
yang kini sedang menggandeng tangan awan. Seseorang yang Awan pernah ceritakan
kepadaku. Perempuan itu terlihat begitu manja berada di sisi Awan.
“Eh Ma, inget gak, waktu itu gue pernah cerita ke lo
tentang Alya?”
“Inget” jawabku dengan cueknya.
“Gue semalem jadian, Ma, sama si cewek enggak jelas
ini. Hahaha!”
Seketika jantungku berhenti berdetak saat Awan
berbicara seperti itu denganku. Rasanya aku ingin menangis saja. Seluruh badanku
terasa kaku dan sulit untuk di gerakan.
“Eh, apaan sih, kamu! Enak aja aku enggak jelas.
Dasar cowok aneh!” Seru Alya sambil mencubit lengan Awan dengan mesranya.
Aku
ingat betul, bagaimana reaksi Awan saat menceritakan tentang Alya waktu itu
kepadaku. Awan begitu risih ketika Alya berusaha untuk mendekatinya, sama
seperti rasa risih ketika di dekati oleh Denova. Aku ingat saat Awan selalu
membanggakanku ketimbang Alya. Tapi pada kenyataannya, kenapa Awan sekarang
memilih berpacaran dengan cewek yang katanya enggak jelas ini?
Awan pun seketika terdiam dan menatapku dengan
ekpresi wajah kebingungan. Perasaanku saat itu
benar-benar hancur. Rasanya, aku
ingin pergi dan tidak bertemu Awan lagi.
“Eh Ama, kok lo diem aja, sih? Enggak kasih selamat
atau apa gitu ke gue sama Alya?”
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
Mencoba untuk mengangkat kedua wajahku dan memberika senyuman terbaik untuk
Awan.
“Se-se-lamaat, ya. Semoga langgeng”
Dari situ, aku langsung berlari meninggalkan Awan
dan Alya sembari menangis.
**
Benar dugaanku sebelumnya. Harapan membuatku buta
pada kenyataan, bahwa Awan menganggapku sebagai seorang teman dekat, bukan
seorang pacar. Aku terlalu berharap dan melihat semua hal yang di lakukan Awan
kepadaku sebagai sebuah bentuk Cinta. Padahal, semua itu salah.
Aku menghargai perasaan Awan. Aku tidak bisa
memaksakan hatinya untuk menyayangiku, sama seperti aku menyayanginya. Aku
sadar, aku salah menafsirkan segala hal tentang Awan. Awalnya aku berpikir,
bahwa Awan hanya mempermainkan perasaannku saja. Tapi kalau aku ingat-ingat
lagi, rasanya, aku terlalu bodoh untuk berpikir seperti itu. Awan tidak salah,
ia menanggapku sebagai satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dan aku sangat
menghargai itu.
Terima kasih Awan, engkau telah hadir dalam
kehidupanku. Meskipun pada akhirnya, kamu memilih Alya, tapi aku bersyukur,
karena kamu telah memilih aku sebagai orang terdekat dalam hidupmu. Aku selalu
berdoa untuk kebahagiannmu. Dengan perempuan manapun yang kamu pilih, aku
harap, kamu bisa bahagia.
**
“Gue harap, kita bakal terus berhubungan, ya. Jangan
sampai lost contact pokoknya!”
Aku tersenyum lebar kepada Awan. Hari ini adalah
keberangkatanku ke Jepang. Dan aku beruntung, kali ini, orang tua ku dan Awan
lah yang mengantarkanku. Sebuah moment yang begitu mengharukan, ketika aku
melihat Awan kini berada di hadapanku.
“Wan, gue boleh minta satu permintaan, gak?”
Awan menangguk mantap. “Boleh banget. Lo mau minta
apa emangnya?”
Dengan cepat aku langsung memeluk tubuh Awan. Aku
tidak bisa membendung perasaan ini lagi. Aku mencoba untuk tidak menangis, tapi
rasa sedih karena tidak bisa bertemu dengan Awan membuat kedua mataku tidak
mampu untuk membendung air mata.
Awan pun seketika membungkukan badannya dan membalas
pelukanku. Aku mendengar suara isak tangis Awan saat memelukku. Ia mendekatkan
bibirnya, lalu berbisik di kupingku.
“Lo adalah orang terdekat yang bisa bikin gue nangis
kayak gini. Gue bakal kehilangan lo banget. Enggak ada yang bisa gantiin lo,
bahkan Alya, pacar gue sekalipun. Lo adalah sahabat yang akan selalu gue doakan
kepada Tuhan, Ma”
Aku terharu mendengar ucapan Awan yang begitu tulus
seperti itu. Aku pun juga membisikan
sesuatu kepada Awan.
“Lo adalah orang yang gue sayang, Wan. Meskipun gue
harus terima kenyataan, kalau lo lebih memilih perempuan lain. Tapi gue
bersyukur, karena Tuhan telah mempertemukan gue dengan lo. Terima kasih sahabat”
Dengan refleknya, aku mencium lembut pipi Awan.
Awan terdiam saat aku mencium pipinya. Kedua matanya
terbuka lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia rasakan tadi.
“Gue pamit, ya.”
Dan dari situ, aku pun berjalan perlahan
meninggalkan orang tua ku dan Awan. Aku ingin menoleh ke belakang, namun aku
mencoba untuk menatap lurus kedepan. Mencoba untuk meninggalkan segala kenangan
dan memulai lembaran baru di Negeri Sakura.
Semoga kamu bahagia dengan cinta yang kamu pilih,
dan semoga aku bisa menemukan cinta yang dapat mengubah hidupku jauh lebih baik
lagi.
Amin.