Kamis, 03 Juli 2014

Weird Job Interview's Question


Ngomongin tentang pengalaman, gue pernah merasakan berbagai macam hal yang terkadang lucu, menyeramkan ataupun aneh. Dan dari sekian pengalaman yang pernah gue rasakan, ada satu kejadian yang bisa gue bilang.. Aneh.

Kejadian yang menurut gue ‘aneh’ itu pun gue rasakan ketika Interview kerja untuk pertama kalinya. Iya, di umur gue yang baru menginjak delapan belas tahun ini, gue memutuskan untuk mencari pengalaman kerja dan memilih untuk tidak melanjutkan Kuliah selama satu tahun. Dan pilihan pertama gue jatuh ke salah satu Klinik Dokter Gigi di kawasan Jakarta Selatan.

Jadi begini ceritanya,

Gue di tawarin kerja sama Ayahnya teman gue, sebut saja om Adi. Om Adi bilang, bahwa ada sebuah Klinik yang sedang membutuhkan Asisten Dokter Gigi lulusan SMA. Dan berhubung gue baru lulus SMA dan punya banyak waktu luang, daripada gue cuma makan-tidur aja di rumah, mendingan gue kerja. Hitung-hitung gue mendapat pengalaman kerja, dan pastinya, dapat menghasilkan uang juga. Dan gue pun memutuskan untuk melamar kerja bersama anaknya om Adi, namanya Tary.

Setelah gue menerima tawaran kerja dari om Adi, gue pun langsung mengurus berkas-berkas yang di butuhkan untuk melamar kerja di Klinik tersebut. Dan setelah berkas lamaran kerja sudah kasih ke om Adi lalu di kirim ke Klinik, seminggu kemudian, si Tary pun tiba-tiba menelfon gue.

“Ih bodoh lo, Li! Kebiasaan banget sinyal Handphone-nya di matiin”

Gue mengkerutkan dahi saat Tary menelfon. “Maaf deh. Kenapa sih emang?”

“Susah banget di hubunginnya! Gue tuh cuma mau ngasih tau, kalau tadi gue di telfon sama resepsionist klinik Dokter Gigi, tempat kita melamar kerja

“Ohh” gue membulatkan bibir. “Enak banget udah di telfon. Gue belum di telfon, nih. Apa jangan-jangan gue enggak di terima, ya?”

“Makanya, sinyal Handphone lo jangan kebiasaan di matiin! Resepsionistnya tuh dari tadi nelfonin elo mulu, Li, tapi enggak nyambung-nyambung”

“HAH? SERIUSAN, LO?!” Gue di sini kaget setengah mati. “Gila, bodoh banget gue!”

“Makanya..” Tary menghela nafas panjang. “Resepsionistnya pun akhirnya nelfon gue, dia bilang, katanya kita berdua di minta buat datang ke Klinik Jumat besok. Terus gue di suruh bilangin ke elo tentang info ini. Soalnya kata dia, elo susah banget di telfonnya”

Gue pun cuma nyengir Kuda mendengar cerita Tary. “Makasih banget ya infonya! Jumat besok gue langsung ke rumah lo, deh. Kita berangkat bareng ya ke sananya”

“Iya. Jangan sampai telat! Awas lo kalo besok sinyal Handphonenya di matiin!”


***

Keesokan harinya, tepatnya hari Jumat, gue, Tary dan om Adi pun berangkat menuju Klinik Dokter Gigi yang berlokasi di Jakarta Selatan tersebut. Om Adi naik sepeda motor sendiri, sedangkan gue di boncengin sama Tary. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya kami bertiga pun sampai di depan sebuah gedung.

“Ini serius Klinik Dokter nya ada di dalam gedung ini?” Tanya gue sambil melihat sekeliling

“Beneran, Li. Klinik Dokter Giginya ada di lantai sembilan” Jawab Tary.

Gue cuma manggut-manggut aja. Seumur-umur gue baru tau kalau misalkan ada Klinik Dokter di dalam gedung. Karena setau gue, Klinik Dokter Gigi itu adanya di pinggir jalan raya. Itu sebabnya, ketika om Adi menceritakan tentang lokasi Klinik yang berada di dalam gedung, gue sempat enggak percaya.

“Bukan lantai sembilan” Ucap om Adi dengan santainya. “tapi sembilan belas”

Gue dan Tary pun sama-sama bengong saat mendengar ucapan om Adi. Kita berdua saling tatap-tatapan satu sama lain, lalu spontan langsung melihat ke atas Gedung tersebut.

"Ini Klinik Dokter apaan sih sampai lokasinya di lantai sembilan belas?!" Gumam gue dalam hati.
***

Tepat pukul sepuluh pagi, kami bertiga udah berada di dalam Klinik Dokter gigi itu. Resepsionist pun itu meminta kami bertiga untuk menunggu di satu ruangan. Sampai beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu pun terdengar. Dan terlihat seorang perempuan mungil tersenyum ke arah kami bertiga

“Siapa duluan yang mau di Interview?” Tanya perempuan tersebut dengan ramahnya.

Gue dengan cepat langsung menyikut lengan Tary. “Udah, elo duluan aja yang Interview!”

Tary pun dengan ragu-ragu langsung berdiri dan keluar dari ruangan, mengikuti perempuan tadi dan menuju ke ruang tempat Interview.

Selama dua puluh menit si Tary masih belum keluar juga dari ruangan Interview. Gue udah deg-degan banget, rasanya mau teriak karena saking takutnya. Gue udah ngebayangin wajah si Interviewer sesuai Imajinasi. Dan di Imajinasi gue, yang bakal Interview gue itu adalah seorang Bapak-bapak brewokan.

Huh, perasaan gue udah campur aduk enggak karuan.

Dan beberapa menit kemudian,

“CEKLEK!”

Suara pintu pun terbuka, dan gue melihat Tary dengan ekspresi muka yang Flat. Gue semakin takut buat masuk ke ruangan tersebut. Pikiran gue udah kacau. Gue gugup banget.

“Ayo, selanjutnya”

Gue menatap perempuan itu lekat-lekat. Menarik nafas panjang, kemudian keluar dari ruang tunggu dan mengikuti kemana perempuan itu berjalan.

“Ayo, lo pasti bisa!” Seru gue dalam hati.

Sesampainya di dalam ruangan, gue enggak bertemu dengan Bapak-bapak brewokan sesuai Imajinasi gue tadi, melainkan seorang ibu-ibu paruh baya yang Style-nya seperti Wanita Sosialita. Gue melihat ke sekiling ruangan tersebut. Minimalis dan lebih di dominasi dengan warna Abu-abu dan Hitam.

Saat gue melihat ke Ibu tersebut, pemikiran gue adalah, dia akan mempersilahkan gue duduk dan kemudian menanyakan beberapa pertanyaan Interview pada umumnya. Tapi ternyata, ibu itu malah bilang,

“Kamu hamil, ya?”

“HAH?” Gue kaget ketika mendengar pertanyaan Ibu tersebut dan langsung melihat ke arah perut. “Saya enggak hamil kok, bu”

Gue bingung ketika di tanya seperti itu. Soalnya, gue sering melihat beberapa serial Sinetron, ada satu Scene, dimana tokoh tesebut sedang melamar kerja di suatu perusahaan. Dan saat di Interview, si Bos akan mengatakan “Silahkan duduk”. Dan di kejadian gue, Ibu itu malah mengatakan “Kamu hamil, ya?”. 

Segitu buncitkah perut gue sampai terlihat seperti ibu muda yang sedang hamil?

Ibu paruh baya tersebut pun masih asyik dengan CV gue. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melihat ke arah gue.

“Jadi kamu... Temannya Tary?”

“Iya, Bu. Saya teman sekolahnya Tary”

Ibu itu terdiam, lalu melihat alamat yang tertera di CV gue.

“Rumah kamu jauh banget, loh. Nanti kalau misalkan kamu kerja di sini, terus telat gimana?”

Dengan semangat, gue pun langsung menjawab “Saya sama Tary rencananya mau nge-Kost di sekitar sini, Bu”

Si Ibu itu mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Untuk pertanyaan selanjutnya, dia hanya menanyakan pertanyaan umum, seperti alasan gue melamar kerja di sini dan sebagainya. Tapi, ada satu pertanyaan dari Ibu tersebut yang bikin gue heran. Heran banget.

“Lia, Ayah kamu aslinya orang mana?”

Asli, gue bingung. Ini adalah pertanyaan Interview yang sama sekali enggak gue mengerti maksud dan tujuannya apa. Yang mau melamar kerja kan gue, kenapa ini nanyain bokap gue orang mana?

Ya karena gue berpikir kalau ibu itu hanya sekedar bertanya, gue pun menjawab dengan singkat.

“Jawa tengah, Bu. Solo"

Ibu itu langsung menatap gue lekat-lekat. “Tapi kamu itu enggak ada Solo nya, sama sekali loh, Lia”

“Tapi saya bukan orang Solo asli, saya ada campuran Sukabumi dari Ibu”

“Setau saya, orang Solo dan Sukabumi itu kalau berbicara, nada bicaranya halus. Dan dari cara kamu bicara, enggak ada halus-halusnya sama sekali. Nada bicara kamu itu seperti orang......Ambon”

Gue cuma bisa diam dan memandang ibu itu sendu. Udah di sangka orang hamil, sekarang gue di bilang kayak orang Ambon pula. Enggak sekalian aja gue di bilang kayak orang Papua Nugini?

“Semua pekerja di sini di ajarkan untuk berbicara sehalus dan serendah mungkin. Tidak berbicara dengan suara tinggi. Kita semua bekerja di Klinik, bukan di Gudang yang mengharuskan berbicara keras dan terdengar sampai kemana-mana”

Gue tau, si Ibu itu menyindir gue kara nada bicara gue terlalu tinggi. Tapi menyindir dengan sindiran halus. Mungkin memang gue yang salah, karena saking semangatnya ingin bekerja, nada bicara gue jadi menggelegar satu ruangan ketika di Interview. Sebenarnya sih gue mau ngomong dengan nada yang jelas dan mantap, supaya si Ibu itu yakin kalau misalkan gue serius ingin bekerja menjadi Asisten Dokter Gigi di Klinik tersebut.

Ibu itu memandang gue dan menghela nafas panjang. Gue udah berpikir, kalau gue enggak bakal keterima kerja. Dari cara dia memandang dan ngomong, udah keliatan banget kalau dia enggak suka sama gue. Eh tau-taunya, si Ibu itu malah ngomong.....

“Ya sudah, kalau kamu memang mau niat kerja di sini, besok kamu datang ke sini untuk memulai Trainning

Gue di sini senang bukan main. Ternyata gue di terima kerja di Klinik Dokter Gigi tersebut! Dan keesokan harinya, gue dan Tary pun mulai Trainning di Klinik itu. Tapi pada akhirnya, kita berdua cuma bisa Trainning selama dua hari. Gue dan Tary di minta buat berhenti Trainning, karena kita berdua dianggap enggak memenuhi syarat.

Dan otomatis? Kita berdua pun enggak di terima kerja di Klinik tersebut. Gimana mau kerja, baru di Trainning dua hari aja udah langsung di berhentiin. Huh.

Oke, itu adalah pengalaman gue ketika Wawancara kerja. Yah, walaupun sebenarnya gue berharap banget bisa bekerja di Klinik tersebut, Tapi kenyataannya, gue enggak memenuhi syarat buat bekerja di tempat itu. Ya mungkin memang belum rejeki gue buat mendulang pundi pundi rupiah disana.

Meskipun gue gagal, tapi seenggaknya, gue mendapatkan pengalaman dalam dunia kerja. Kegagalan yang gue rasakan justru memompa semangat untuk belajar lebih banyak lagi dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Dan gue memegang prinsip, bahwa kegagalan adalah awal dari kesuksesan. Enggak ada kesuksesan di dapat dengan cara yang instan, karena....


"There's no shortcut to succsess"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar